RSS Subscription

Subscribe via RSS reader:
Subscribe via Email Address:
 

Analisi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Waib Pajak Terhadap Penentuan Cara Perhitungan PPH Terhutang Pada Wajib Pajak Orang Pribadi Di Jakarta Utara

Posted By CAMPUS On 13.37 Under
Pajak merupakan salah satu sumber yang cukup penting bagi penerimaan negara guna pembiayaan pembangunan di akhir-akhir ini. Kontribusi pajak terhadap pembangunan telah menyamai atau bahkan lebih besar dari sektor minyak dan gas sebagai sumber dana pembangunan. Penelitian ini merupakan replikasi dari Heny (2003) yang berjudul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Menentukan Cara Perhitungan PPh Terutang di Surakarta” yang dilakukan pada tahun 2003. Dalam penelitian ini obyek penelitian adalah wajib pajak orang pribadi di Jakarta Utara.

Tujuan studi dalam penelitian ini adalah pengujian hipotesis dengan menggunakan analisis regresi linier berganda. Penelitian ini ingin membuktikan dan menunjukkan pengaruh perhitungan pajak penghasilan sesuai Undang-undang No. 17 Tahun 2000. Dalam penelitian ini yang ingin diteliti adalah faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan penghitungan PPh menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto (NPPN).
Hasil penelitian ini adalah: (1) Hasil analisis regresi menunjukkan harga R sebesar 0,173 menunjukkan bahwa korelasi antara perhitungan PPh dengan jenis usaha cukup kuat dan koefisien determinasi sebesar 0,030 atau angka adjusted R square adalah 0,010, (2) Nilai R sebesar 0,537 menunjukkan korelasi antara perhitungan PPh dengan peredaran bruto cukup kuat dan koefisien determinasi sebesar 0,289 atau angka adjusted R square adalah 0,281, (3) Hasil regresi menunjukkan nilai R sebesar 0,310 berarti korelasi antara perhitungan PPh dengan pendidikan terakhir/tahun sukses cukup kuat dan koefisien determinasi adalah 0,096 atau angka adjusted R square adalah 0,087, (4) Persamaan regresi: Y = 5,130 + 0,799P.Bruto + 0,235 Pend - 0,415Home industry + 0,120 Profesi, dengan variabel jenis usaha dagang sebagai benchmark (pembanding), (5) Hasil uji t regresi variabel dummy diperoleh nilai signifikansi sebesar (Dagang = 0,750, Home industri = 0,098, Profesi = 0,388) lebih dari 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel dummy tidak mempengaruhi penentuan perhitungan pajak penghasilan, (6) Hasil uji t regresi terhadap masing-masing variabel menunjukkan variabel peredaran bruto selama satu tahun mempengaruhi penentuan perhitungan pajak penghasilan, variabel tingkat pendidikan mempengaruhi penentuan perhitungan pajak penghasilan, (7) Hasil Uji F disimpulkan ada pengaruh jenis usaha, jumlah peredaran bruto, dan tingkat pendidikan (tahun sukses) terhadap penentuan perhitungan pajak penghasilan.
Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa faktor peredaran bruto dan pendidikan terakhir/tahun sukses mempengaruhi penentuan perhitungan pajak, sedangkan faktor jenis usaha tidak mempengaruhi penentuan perhitungan pajak. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa faktor jenis usaha, pendidikan terakhir/tahun sukses dan jumlah peredaran bruto memiliki pengaruh secara bersama-sama terhadap penentuan perhitungan pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi di Jakarta Utara.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara hukum yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan bagi rakyatnya sehingga terbentuk suatu masyarakat yang adil dan makmur, tentram, aman yang merata bagi seluruh bangsa Indonesia. Negara juga mempunyai beberapa kewajiban yang paling utama yaitu melindungi rakyat dengan segala kepentingannya dan menyediakan sarana serta fasilitas yang diperlukan untuk memperlancar pelaksanaan pemerintahan dan memberikan pelayanan kepada rakyat, mempertahankan hukum, memelihara ketertiban dan keamanan negara. Untuk dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut negara membutuhkan sumber-sumber penghasilan seperti penghasilan perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, penghasilan dari barang-barang milik negara, penghasilan dari denda dan sitaan barang karena suatu pelanggaran, hibah dan sumbangan dari negara lain atau organisasi internasional maupun penghasilan dari hak-hak waris dan penerimaan dari berbagai macam pajak, retribusi, bea, dan cukai serta bentuk-bentuk pungutan lainnya. Dari sumber-sumber penerimaan negara tersebut, pajak merupakan sumber yang paling dominan karena hal tersebut terbukti dari angka yang terdapat pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari tahun ke tahun yang menunjukkan bahwa penerimaan pajak terus mengalami peningkatan.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam Anggaran Pendapatan Negara yang dibuat oleh Pemerintah terdapat tiga sumber penerimaan yang menjadi pokok andalan, yaitu:
a. Penerimaan dari sektor pajak.
b. Penerimaan dari sektor migas (minyak dan gas bumi), dan
c. Penerimaan dari sektor bukan pajak.
Dari ketiga sumber penerimaan di atas, penerimaan dari sektor pajak ternyata merupakan salah satu sumber penerimaan terbesar negara. Dari tahun ke tahun kita dapat melihat bahwa penerimaan pajak terus meningkat dan memberi andil besar dalam penerimaan negara. Penerimaan dari sektor pajak selalu dikatakan merupakan primadona dalam membiayai pembangunan nasional. Sedangkan penerimaan dari migas, yang dahulu selalu menjadi andalan penerimaan negara, sekarang migas sudah tidak bisa diharapkan sebagai sumber penerimaan keuangan negara yang terus menerus karena sifatnya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources). Penerimaan migas pada suatu waktu akan habis sedangkan dari pajak selalu dapat diperbaharui sesuai dengan perkembangan ekonomi di masyarakat itu sendiri.
Pajak merupakan salah satu sumber yang cukup penting bagi penerimaan negara guna pembiayaan pembangunan di akhir-akhir ini. Kontribusi pajak terhadap pembangunan telah menyamai atau bahkan lebih besar dari sektor minyak dan gas sebagai sumber dana pembangunan. Saat ini Indonesia mulai memprioritaskan sektor pajak sebagai sumber pendanaan pembangunan di berbagai bidang. Peningkatan penerimaan pajak tersebut dimulai pada tahun fiskal 1984, pemerintah memberitahukan reformasi perpajakan dengan menerapkan sistem self assessment dalam pemungutan pajak (Priantara, 2000). Penerimaan sektor pajak mengalami peningkatan volume dari tahun ke tahun sejak pembaharuan di bidang perpajakan, yang dikenal dengan reformasi pajak yang dilaksanakan tahun 1983. Dengan reformasi pajak nasional sistem pajak yang berlaku saat ini akan disederhanakan (Suandy, 2000) Penyederhanaan tersebut mencakup jenis pajak, tarif pajak dan cara pembayaran pajak. Setelah reformasi ini sistem pembayaran pajak akan makin adil dan wajar, sedangkan jumlah wajib pajak akan makin luas. Selanjutnya reformasi pajak akan dilakukan terhadap aparat pajak, baik yang menyangkut prosedur, tata kerja, disiplin maupun mental. Reformasi perpajakan tidak berhenti begitu saja, tetapi harus dilakukan perubahan dan penyempurnaan sesuai dengan tuntutan sistem perekonomian.
Pajak juga merupakan suatu fenomena yang selalu berkembang di masyarakat Indonesia karena diiringi dengan perkembangan perekonomian negara Indonesia. Dalam era globalisasi atau era persaingan bebas ini, cepat atau lambat tidak dapat ditolak dan harus menerima keberadaan globalisasi ekonomi serta mengambil kesempatan yang dapat timbul akibat adanya perubahan ekonomi internasional. Salah satu perangkat pendukung yang menunjang agar tercapai keberhasilan ekonomi dalam meraih peluang adalah hukum pajak atau yang sering disebut dengan hukum fiskal, yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi kewenangan pemerintah dalam memungut pajak. Untuk menjadikan pajak sumber penerimaan negara atau pembiayaan pembangunan yang utama, bukan merupakan hal yang mudah karena banyak kendala-kendala yang dihadapi, baik yang timbul dari masyarakat sebagai wajib pajak maupun dari pihak otoritas pajak serta peraturan perundang-undangan.
Pada masa sebelum Peraturan Perpajakan tahun 1983 diberlakukan, diterapkan Official Assessment System dimana dalam sistem pemungutan pajak ini memberi wewenang kepada pemungut pajak (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar (pajak yang terutang) oleh seseorang. Dengan sistem ini wajib pajak bersifat pasif dan menunggu dikeluarkannya suatu ketetapan pajak oleh fiskus. Besarnya utang pajak seseorang baru diketahui setelah adanya surat ketetapan pajak. Tetapi setelah tahun 1983, berdasarkan Undang-undang Perpajakan Tahun 1983 dan berlalu di Indonesia sejak tahun 1984 sampai sekarang diterapkan Self Assessment System, dimana wajib pajak diberi wewenang penuh untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan sendiri besarnya utang pajak. Dalam sistem ini wajib pajak aktif sedangkan fiskus tidak turut campur dalam penentuan besarnya pajak yang terutang seseorang, kecuali wajib pajak melanggar ketentuan yang berlaku.
Tiga prinsip yang mendasari sistem dan mekanisme pemungutan pajak sebagaimana dalam Penjelasan Umum Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan kedua atas Undang-undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah:
a. Pemungutan pajak merupakan perwujudan pengabdian dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melakukan kewajiban perpajakan yang diperlakukan untuk pembiayaan negara.
b. Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pemungutan pajak sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat wajib pajak sendiri. Pemerintah dalam hal ini aparat perpajakan, sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan dan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
c. Anggota masyarakat wajib pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotong royongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang (self assessment) sehingga melalui sistem ini administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan rapi, terkendali, sederhana, dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat wajib pajak.
Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan dan kesederhanaan, maka arah dan tujuan penyempurnaan Undang-Undang Perpajakan ini mengacu pada kebijaksanaan. Salah satu pajak yang dibebankan kepada wajib pajak baik orang pribadi maupun badan yang menjalankan suatu usaha adalah Pajak Penghasilan (PPh). Pajak penghasilan ini diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 1983 yang mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000 dan diberlakukan per 1 Januari 2001. Dengan adanya undang-undang tersebut, maka setiap wajib pajak yang menjalankan suatu usaha wajib untuk menghitung pajak penghasilannya. Untuk menghitung besarnya pajak penghasilan yang terutang, dalam hal ini wajib pajak orang pribadi diperkenankan untuk menggunakan dasar pembukuan atau menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) yang telah ditentukan berdasarkan undang-undang. Kewajiban menyelenggarakan pembukuan pada dasarnya telah diatur dalam pasal 28 Undang-Undang No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan. Namun, ketentuan pembukuan dimaksud hanya diberikan secara umum. Oleh karena itu, dalam rangka memenuhi kewajiban perpajakan perlu ada usaha sendiri dari wajib pajak orang pribadi untuk memahami seluk beluk pembukuan. Pada umumnya pembukuan dijadikan titik tolak untuk menghitung penghasilan kena pajak. Namun disadari pula bahwa tidak semua wajib pajak orang pribadi mampu menyelenggarakan pembukuan, oleh karena itu diperkenankan menerapkan norma penghitungan yang merupakan suatu pedoman tentang cara untuk menentukan penghasilan neto dan penghasilan pajak (ps. 14 UU PPh 1984). Wujud dari norma penghitungan adalah merupakan suatu prosentase atau angka perbandingan lainnya yang dipergunakan untuk penghitungan penghasilan neto.
Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ekorini (2001), berusaha untuk memperoleh bukti secara empiris apakah ada perbedaan besarnya pajak penghasilan yang terutang apabila dalam perhitungannya wajib pajak orang pribadi menggunakan Norma Penghitungan atau dasar pembukuan, serta kendala apa saja yang akan dihadapi oleh wajib pajak orang pribadi jika dalam perhitungannya wajib pajak tersebut menggunakan dasar pembukuan dan alasan wajib pajak orang pribadi menggunakan norma penghitungan dalam membayar pajak penghasilan yang terutang. Dari penelitian tersebut, maka dapat diperoleh pemahaman bahwa penggunaan norma penghitungan ataupun pembukuan masing-masing mempunyai keunggulan dan kelemahan tersendiri baik bagi fiskus maupun wajib pajak itu sendiri. Dan diperoleh bukti bahwa pajak penghasilan yang harus dibayarkan kepada pemerintah apabila menggunakan Norma Penghitungan akan lebih besar dibandingkan dengan menggunakan pembukuan. Hal ini disebabkan prosentase besarnya norma penghitungan ditentukan oleh pemerintah melalui Menteri Keuangan dan besarnya prosentase norma penghitungan dari tahun ke tahun seringkali berubah-ubah dan cenderung mengalami kenaikan. Ada beberapa kendala yang dihadapi oleh wajib pajak orang pribadi apabila mereka menggunakan dasar pembukuan dalam menentukan penghitungan pajak penghasilannya, yaitu: tidak memahami tata cara pembukuan yang baik; jenis usaha relatif masih kecil karena dapat menggunakan dasar pembukuan maka akan menambah pengeluaran biaya untuk tenaga kerja pembukuan; dan adanya pemikiran bahwa pembukuan itu merepotkan dan tanpa pembukuanpun usaha masih dapat berjalan dengan baik, maka bagi mereka penggunaan pembukuan tersebut tidak ada manfaatnya.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Heny (2003) ingin mengetahui pengaruh dari faktor jenis usaha, jumlah peredaran bruto selama satu tahun, dan tingkat pendidikan (tahun sukses) terhadap keputusan wajib pajak orang pribadi dalam menentukan cara perhitungan pajak penghasilan, serta mengetahui apakah ada perbedaan mengenai besarnya pajak penghasilan yang harus dibayar oleh wajib pajak pribadi apabila pajak penghasilan tersebut dihitung menggunakan dasar pembukuan atau norma penghitungan berdasarkan jumlah peredaran bruto selama satu tahun. Sedangkan dalam penelitian ini peneliti akan melakukan penelitian di lokasi yang berbeda yaitu di Jakarta Utara, dengan tahun pengamatan pada tahun 2004. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dalam penelitian ini penulis memilih judul “ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI WAJIB PAJAK TERHADAP PENENTUAN CARA PERHITUNGAN PPH TERUTANG PADA WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DI JAKARTA UTARA”.

B. Perumusan Masalah
Pajak Penghasilan adalah pajak langsung yang dikenakan kepada badan atau orang pada tingkat penghasilan tertentu. Semakin tinggi penghasilan rata-rata masyarakat dan industri suatu bangsa, berarti semakin tinggi harapan pemerintah untuk memperoleh pemasukan dari sektor PPh. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keputusan wajib pajak orang pribadi dalam menentukan salah satu cara perhitungan pajak penghasilan neto (NPPN) serta keuntungan apa saja yang akan diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam penggunaan salah satu cara perhitungan pajak penghasilan terutang tersebut.
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Adakah pengaruh dari faktor jenis usaha, jumlah peredaran bruto selama satu tahun dan tingkat pendidikan (tahun sukses) terhadap penerapan penghitungan PPh menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN) pada wajib pajak orang pribadi di Jakarta Utara”.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh faktor jenis usaha, jumlah peredaran bruto selama satu tahun dan tingkat pendidikan (tahun sukses) terhadap penerapan penghitungan PPhb menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN) pada wajib pajak orang pribadi di Jakarta Utara.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai :
1. Memberikan informasi secara empiris dan masukan kepada wajib pajak orang pribadi dalam hal penentuan cara perhitungan pajak penghasilan berdasarkan pengaruh dari faktor-faktor seperti jenis usaha, jumlah peredaran bruto, dan tingkat pendidikan (tahun sukses).
2. Memberikan referensi tambahan, bahan literatur dan acuan untuk penelitian lebih lanjut mengenai metode perhitungan yang akan digunakan oleh wajib pajak orang pribadi di Jakarta Utara dalam menghitung pajak penghasilan yang terutang.

E. Batasan Penelitian
Mengingat keterbatasan waktu, fasilitas, tenaga, serta biaya yang dikeluarkan, maka dalam penelitian ini penulis hanya terfokus untuk memilih wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau profesi di wilayah Jakarta Utara. Sedangkan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini akan penulis batasi, yaitu pada pengaruh dari faktor jenis usaha, jumlah peredaran bruto selama satu tahun, dan tingkat pendidikan (tahun sukses) terhadap penerapan perhitungan PPh menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN) Dalam penelitian ini, penulis juga berusaha untuk mengetahui pendapat wajib pajak orang pribadi terhadap penggunaan norma penghitungan penghasilan neto dalam menentukan besarnya pajak penghasilan. Hal tersebut dapat diperoleh penulis melalui data-data yang telah dikumpulkan dari wawancara langsung terhadap responden.

F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi penelitian ini, sistematika penulisan terdiri dari lima bab, dan masing-masing bab akan diuraikan mengenai hal-hal sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Batasan Penelitian
F. Sistematika Penulisan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
B. Sistem Perpajakan di Indonesia
C. Pajak Penghasilan
D. Metode Perhitungan Pajak Penghasilan
E. Kerangka Teoritis
F. Hipotesis
BAB III METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
B. Populasi, Sampel, dan Metode Pengambilan Sampel
C. Identifikasi Variabel dan Pengukurannya
D. Instrumen Penelitian
E. Sumber Data
F. Metode Pengumpulan Data
G. Metode Analisis Data
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penelitian dan Hasil Pengumpulan Data
B. Analisis Data Penunjang
C. Hasil dan Analisis Data
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Hasil Penelitian
B. Keterbatasan dan Implementasi
C. Saran-saran

Posting Komentar